Tags

, , , , , , ,

Dahulu kala, pada suatu masa sebelum segalanya serba dibuat instan, ibu saya sering membuatkan kentang goreng rumahan. Sederhana, sih. Potong-potong kentang dengan ukuran sesukanya (biasanya sih dipotong berbentuk wedges. Tapi Ibu memotongnya sekitar ukuran jari telunjuk), rebus sampai lunak (tapi jangan sampai benyek!), tiriskan. Setelah itu, balur kentang rebus pakai garam dan merica, lalu goreng sampai garing. Setiap hari minggu pagi, begitu saya sudah mandi dan asyik menonton doraemon, Ibu selalu menyiapkan kentang goreng itu, yang akan disantap dengan cocolan sambal botolan yang pedas bersama ayah dan abang saya.

Sekarang, bertahun-tahun kemudian, Ibu masih suka sih membuatkan kami kentang goreng. Hanya saja kentangnya adalah kentang instan yang dijual di supermarket, yang kering kalau digoreng, dan lebih kuat tekstur tepungnya daripada kentangnya. Yah, bukan “membuatkan” sih, “menggorengkan” adalah istilah yang lebih tepat. Saya pernah sekali mencoba membuat kentang goreng rumahan mengikuti resep ibu, tapi hasilnya berminyak dan benyek *sighed* jadi bisa dibilang gagal, dan saya rada kapok bikin lagi.

Saya pikir kentang goreng buatan ibu tinggal menjadi kenangan.

Sampai suatu ketika, sepulang dari sebuah acara workshop, seorang teman mengajak saya ke kafe yang menjual yogurt di jalan Cisangkuy. Saya pernah beberapa kali mengunjungi tempat itu sewaktu masih SMA, dan satu kali lagi bersama kakak sepupu, tapi hanya mencicipi yogurtnya. Nah, siang itu, teman saya memesan kentang goreng + sosis yang disebutnya sebagai makanan “klasik.”

“Rasanya klasik,” katanya. “Belum berubah sejak terakhir aku ke sini sewaktu di SMA.”

1-2014_1025_15393300

Saya pun ikut mencicipinya. Penasaran dengan istilah “klasik” yang digunakannya itu. Dan dalam gigitan pertama, yang muncul di ingatan saya adalah kenangan sekitar dua puluh tahun silam, saat saya masih anak kecil kinyis-kinyis yang canggung dengan kacamata tebal penggemar doraemon. (Kalau sekarang sih saya sudah berubah, dong, jadi ibu-ibu beranak dua yang canggung dengan kacamata tebal). Akhirnya, setelah sekian lama, saya mencicipi lagi kentang goreng rumahan seperti yang pernah ibu saya buat.

Perjalanan ke kafe di Cisangkuy itu bagi saya sungguh berkesan. Di tengah-tengah menjamurnya kafe dan restoran yang menawarkan menu-menu unik, baru, serta modern, tempat itu masih menyajikan kesederhanaan. Rasa yang mengingatkan kita pada rumah.

-nat-